Pengibaran Bendera Putih Itu Masih Terbilang Sangat Sopan dan Santun

Istimewa
Pemasangan bendera putih di jalan Kota Medan
drberita.id | Pengibaran bendera putih yang terjadi di Kota Medan, oleh kelompok masyarakat merupakan simbol kritik terhadap PPKM Darurat di tengah pandemi Covid-19.
Jadi, berlapangdadalah menerima kritikan masyarakat atas penanganan pandemi Covid-19 yang dilakukan dengan pengibaran bendera putih.
"Ketimbang saling menyalahkan di antara sektor yang mendapat pelimpahan tugas, lebih baik segera memperbaiki sistem. Sektor mana pun yang bermasalah, itu pasti mengindikasikan ketidakberesan sistem," ungkap Pengamat politik UMSU Sohibul Anshor Siregar kepada DRberita, Rabu 21 Juli 2021.
Baca Juga :Heboh, Ribuan Bendera Putih Berkibar di Kota Medan
Menurut Sohibul, mobilisasi pengibaran bendera putih untuk menunjukkan perasaan kekecewaan terhadap petugas PPKM di Kota Medan adalah sebuah ekpresi yang mewakili perasaan yang sama dari banyak orang di seluruh Indonesia.
Mereka memang hanya menyebut arogansi petugas PPKM sebagai pokok sorotan. Tetapi itu hanyalah sisi paling mudah dimengerti oleh halayak ramai untuk mengatakan bahwa secara keseluruhan pemerintah telah gagal menangani pandemi Covid-19.
Untuk memperbaiki keadaan, kata Sohibul, disarankan agar pertama, pemerintah segera mengoreksi politik anggaran.
Baca Juga :Bisnis Property Nella Masih Bertahan di Tengah Pandemi
"Seyogyanya pemerintah memilih penyeimbangan motif save human first dengan motif economic recovery sehingga kebijakan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan imperatif konstitusi. Sehingga dipastikan masyarakat akan dapat lebih banyak terselamatkan dengan cara ini," jelasnya.
Berdasarkan pengalaman selama ini, masyarakat menilai kegagalan pemerintah menangani pandemi Covid-19 lebih disebabkan pengarusutamaan economic recovery (pemulihan ekonomi) ketimbang save human first (mengarusutamakan keselamatan manusia).
Baca Juga :Idul Adha 1442 H, Bank Sumut Sembelih 19 Ekor Hewan Kurban
Tetapi orang yang mengerti politik anggaran bahkan dapat menunjukkan kecenderungan pemihakan pemerintah terhadap korporasi dengan kadar keengganan mendemokratisasi sistem-sistem sumber, terutama ekonomi dan lapangan pekerjaan.
Rakyat pasti tahu bahwa perumusan kebijakan menangani pandemi adalah pertarungan di antara berbagai nilai, ideologi dan kepentingan pragmatis.
[br]
"Jangan sampai kemaslahatan masyarakat dikorbankan oleh, misalnya, transaksi gelap di antara oligarki, komprador dan modal asing," tegasnya.
Kedua, lanjut Sohibul, komunikasi pemerintah. Masyarakat menilai pemerintah selalu membingunkan karena apa yang diucapkan kerap berbeda dengan apa yang dikerjakan.
Seperti rumah ibadah diminta ditutup agar interaksi manusia minim untuk memastikan penekanan penularan virus corona. Tetapi pada saat yang sama mas kapai penerbangan terus beroperasi dan dalam setiap penerbangan itu ratusan orang duduk berdampingan dalam jarak amat rapat.
Baca Juga :KPK Laporkan Aktivis Tembak Laser 'Berani Jujur Pecat' Gedung Merah Putih ke Polisi
Kemudian, kondisi ekonomi dalam negeri merosot tajam dan gulungtikarnya banyak dunia usaha menyebabkan pemutusaan hubungan kerja (PHK) yang terus menambah angka pengangguran dengan segenap efek dominonya. Pada saat yang sama pemerintah terus mengizinkan tenaga kerja asing berdatangan.
"Ini menghantam dua hal, mutu konsistensi menangkal virus dari Negara lain dan mutu empati terhadap nasib tenaga kerja domestik," serunya.
Sebagai akibat dari pertarungan nilai, ideologi dan kepentingan dalam setiap perumusan kebijakan, kata Sohibul, pemerintah kerap lebih mengutamakan pengabaian peran dan keniscayaan pelibatan dua pihak, yakni orang beriman dan orang pintar. Akhirnya kebijakan politik lebih bertitik tekan pada makna kekuasaan belaka.
Baca Juga :Gubsu dan Istri Serta Mbak Fauzi Sumbang 2 Ekor Hewan Kurban ke Pemuda Pujakesuma
Tidak itu saja, pemerintah jarang sekali menunjukkan kesadaran atas bahaya akumulasi kekecewaan rakyat yang dapat menjurus kepada social disobedience atau pembangkangan sosial. Karena dalam demokrasi, rakyat lah yang menjadi sumber legitimasi politik, dan akumulasi kekecewaannya dapat memjadi ancaman serius.
"Mungkin ada segelintir di lingkar kekuasaan yang memilih akal bulus meningkatkan cara yang mengarusutamakan repressi. Padahal itu sangat berbahaya, dan pengalaman Indonesia berulangkali menunjukkan akibat buruk dari penyepelean faktor kekecewaan masyarakat," kata Sohibul.
Ketiga, masih Sohibul, organisasi penanganan pandemi Covid-19 yang menyepelekan kekayaan kelembagaan masyarakat. Indonesia sangat kaya dengan kelembagaan masyarakat ini, bahkan di antara kelembagaan itu ada yang lebih tua usianya dari Negara Republik Indonesia seperti Muhammadiyah yang berdiri tahun 1912 dan NU yang berdiri tahun 1926.
Baca Juga :Partai Demokrat Sembelih 18 Ekor Hewan Kurban
Kedua organisasi ini dan organisasi lainnya sangat berpengalaman menghadapi berbagai tantangan zaman, bahkan mengusir penjajahan pun mereka lakukan dan berhasil. Maka jika menyepelekan mereka dalam bentuk tak menganggapnya sebagai piranti penting untuk pelibatan adalah kesalahan besar.
Organisasi pemerintah tak hanya terbatas dalam hal integritas yang terbukti dari berbagai penyelewengan yang terjadi dalam distribusi bantuan sosial dan yang penanganan hukumnya hingga kini secara luas dianggap tidak berintegritas, tetapi juga jejaring efektif dan kapasitas yang terbatas dalam berbagai hal. Karena itu pemerintah harus menyadari kelemahnnya dan bersedia berbagi beban dengan para stakeholder negeri ini.
[br]
Dalam penyepelean kekayaan kelembagaan sosial itu, lanjut Sohibul, pemerintah dengan sangat mengherankan penanganan pandemi Covid-19 dikategorikan sebagai darurat militer.
"Kontroversi yang dipicu oleh keterangan Muhadjir Efendi ini menimbulkan tanda tanya besar, padahal ia terus berharap kesediaan berkorban masyarakat untuk bersolidaritas membantu sesama (orang kaya membantu orang miskin) karena katanya pemerintah sendirian tak sanggup (lagi) memenuhi tanggung jawabnya menyediakan kebutuhan bantuan sosial yang terus bertambah besar," sebutnya.
Organisasi penanganan pandemi Covid-19 yang bersifat nasional itu juga kerap tidak konsisten. Saat suatu daerah misalnya menunjukkan kurva terinfeksi yang menurun, pujian selalu ingin didominasi pusat. Sedangkan jika prahara terjadi, daerah terus disudutkan.
Baca Juga :Tangan Kepsek MAN 1 Sergai Masuk ke Dalam Baju, Honorer Ngadu ke Ombudsman
Padahal daerah sangat terbatas kemampuannya. Tidak memiliki anggaran yang cukup terutama pemasukannya tergerus dan kewenangan untuk menetapkan PPKM saja harus disetujui oleh Pusat.
"Pengibaran bendera putih itu sebagai bentuk protes adalah jenis ekspresi politik yang masih terbilang sangat sopan dan sangat santun. Tetapi itu bisa bergerak lebih jauh.
SHARE:
Editor
: Artam
Tags
Berita Terkait

Carnaval Season IX IMM UMSU Ruang Ekspresi Positif Untuk Mencapai Indonesia Emas 2045

Dosen UMSU Shohibul: Preman Tidak Berdiri Sendiri, Mereka Bagian dari Jaringan Kekuasaan

Syaiful Syafri: Dinas Infokom Sumut Tetap Bantu Relawan Perpustakaan UMSU Meski Jelang PON

PKM UMSU Buat Mesin Sangrai Daun Teh dan Pelatihan Digital Marketing di Koperasi CJN

Instagram PTPN4 Pakai 2 Foto Anggota PFI Medan Tanpa Ijin

Luhut Batalkan PPKM Level 3 Jelang Natal dan Tahun Baru
Komentar