Caleg Demokrat: Hanya Suara Rakyat Yang Bisa Lawan Kezaliman Rezim
MK Benteng Terakhir Jebol
Redaksi - Jumat, 01 Maret 2024 18:28 WIB
Poto: Istimewa
Ali Yusran Gea.
drberita.id -Pakar Hukum Tatanegara Dr. Ali Yusran Gea, SH, MKn, MH menilai, saat ini hanyalah kekuatan suara rakyat yang bisa melawan kezholiman rezim yang sedang berkuasa di Indonesia.
"Puncak dari semuya perlawanan ini hanyalah kekutan suara rakyat yang bisa melawan kezholiman rezim yang sudah membuat amburadul tatanan kebangsaan kita ini. Makanya selama ini dikenal istilah suara rakyat adalah suara Tuhan. Gerakan reformasi 1998 dulu adalah suara rakyat. Begitu kokohnya rezim Orde Baru Suharto ahkirnya runtuh juga. Jadi, hanya itu yang bisa meruntuhkan rezim yang berkuasa saat ini," kata Ali Yusran Gea kepada wartawan di Pondok Konstitusi Dr. Gea, Jalan Bakti Selatan Medan, Jum'at 1 Maret 2024.
Menurut Gea, untuk menggugat Pemilu yang terindikasi curang sudah tidak mungkin lagi melalui mekanisme konstitusi dan mekenisme politik, karena mekanisme melalui Mahkamah Konsitusi (MK) dan DPR RI akan kandas, karena dua lembaga itu sudah dikuasai rezim.
"Kita mungkin bisa berharap pada anggota DPR RI hasil Pemilu Legislatif tahun 2024 ini, tapi kan untuk menggelar Hak Angket waktunya terbatas, jadi tidak mungkin DPR RI hasil Pemilu Tahu 2024 ini," kata Caleg DPR RI dari Partai Demokrat ini.
Sementara, lanjut Gea, DPR RI yang sekarang tidak bisa diharapkan. Tapi itupun tergantung pada konsistensi partai politik, apakah mereka memiliki komitmen kebangsaan untuk perbaikan kondisi bangsa yang sudah amburadul ini.
"Saat ini kita menguji komitmen kebangsaan mereka (DPR). Apakah ingin merubah kondisi kebangsaan yang sudah amburadul ini," seru Gea.
Gea juga mengatakan jika partai politik mempunyai komitmen kebangsaan, seharusnya hak angket sudah digulirkan ketika MK memutuskan pasal batas usia calon presiden dan Wakil Presiden 2024. Tetapi itu tidak dilakukan, dan mereka semuanya diam, tidak berani bicara, dan tidak ada yang meributi.
"Dalam undan undang kehakiman jelas tercantum seorang hakim (apalagi Hakim Mahkamah Konstitusi) tidak bisa mengadili perkara yang berhubungan dengan anggota keluarganya. Maka keputusannya cacat hukum. Cacat hukum itu artinya bertentangan dengan hukum. Memang ada DKPP, tapi DKPP itu hanya mengadili etiknya dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Tapi jika pakar hukum dan anggota legislatif kita bicara atau ribut, tentu situasinya akan berbeda, karena secara implisi keputusan MK itu adalah juga cacat hukum. Tapi kan semua diam," kata Gea.
Idealnya, lanjut Gea, sengketa pemilu memang dibawa ke MK. Karena MK adalah benteng konstitusi, tapi tidak begitu kenyataanya. MK sendiri sudah menjebol benteng itu, apalagi yang bisa diharapkan dari MK.
"Jadi satu-satunya jalan yaitu menggalang suara rakyat sebagai suara Tuhan. Manakala terbukti pemilu curang, maka KPU dan Bawaslu bisa dipidana karena telah menyelewengkan wewenang yang diberikan kepadanya," tutup Gea.
SHARE:
Editor
: Redaksi
Tags
Berita Terkait
Komentar